Friday, June 27, 2014

Tentang Feminisme dan Kesetaraan Gender

Untuk mengisi liburan (baca: hari-hari menjadi pengangguran), saya berusaha untuk melibatkan diri ke dalam beberapa aktivitas supaya nggak kehilangan jati diri. Salah satu kegiatan yang saya ikuti adalah pelatihan (anti) feminisme dan kesetaraan gender yang dilakukan oleh AILA,  sebuah aliansi dari beberapa lembaga mengenai pengarusutamaan keluarga (salah satu anggotanya adalah ibu saya), yang dilakukan dalam tujuh pertemuan selama tujuh minggu. Kegiatan ini sebenarnya adalah training for trainers, makanya yang ikut kebanyakan adalah para pejuang anti-feminisme dari berbagai lembaga. Sejauh mata memandang, kayaknya sih saya peserta yang paling muda dan paling minim pengalaman.

Sebelumnya, saya sudah bertekad untuk menjadi peserta yang kritis dan open-minded. Udah kebayang lah topik-topik apa aja yang akan diangkat, dan saya udah tau gimana orang-orang yang terlalu benci sama feminisme dan LGBT, sampe suka sotoy dan over-generalize banyak hal. Bukannya saya nggak setuju, tapi buat saya, kebencian kita terhadap sesuatu nggak boleh sampe menutup mata kita untuk mendengarkan hal-hal dari sisi seberang. Makanya saya cenderung kurang suka sama orang-orang yang terlalu fanatik sama suatu hal, hal apapun, sampai akhirnya jadi nutup mata, hati, dan telinga sama fakta-fakta baru yang ada.

Sejauh ini, sudah ada tujuh pertemuan yang diadakan. Di pertemuan pertama, kami belajar tentang Islamic Worldview, atau cara pandang Islam. Di materi ini, kami juga sedikit banyak belajar tentang liberalisme dan teman-temannya. Di pertemuan kedua, kami belajar tentang sejarah feminisme dan relevansinya dengan masa kini. Di pertemuan ketiga temanya makin menarik, kami belajar tentang tafsir ayat-ayat Quran yang sering dikritik oleh para feminis dan liberalis. Kami belajar langsung dari seorang ustadz yang juga seorang doktor dalam bidang ilmu tafsir. Program sarjana dan magisternya pun seputar ilmu tafsir. 

Saya seneng banget belajar dari orang yang pinter. Training ini memenuhi kebutuhan saya karena hampir semua pembicaranya adalah ustadz-ustadz yang pakar di bidangnya, paham banget Quran dan Islam sampai mendalam, dan mampu menjawab pertanyaan dari orang-orang yang mulai skeptis dengan ajaran Islam.

Di pertemuan ketiga kemarin, kami belajar tentang tafsir pernikahan, poligami, waris, dan lain-lain. Salah satu informasi yang menarik buat saya adalah pernyataan dari Ustadz Dr. Saiful Bahri bahwa salah ayat "Ar-Rijaalu qawwaamuuna 'alan-nisaa" (laki-laki adalah pemimpin untuk wanita) yang cukup kontroversial ternyata memang hanya relevan untuk membahas hubungan domestik - hubungan rumah tangga - bukan untuk hubungan lain. Intinya, wanita boleh saja menjadi pemimpin bagi laki-laki di pekerjaan dan organisasi, tapi di rumah, pria lah yang harus jadi pemimpinnya. Saya sih bingung kenapa masih banyak banget orang yang nuntut kesetaraan peran pria-wanita di rumah tangga (bahkan sampai harus ditulis ke dalam UU). Saya sendiri akan protes luar biasa kalau nanti saya nggak bisa jadi pemimpin di ranah saya, hanya karena saya seorang perempuan. Tapi saya nggak mau tuh jadi alpha wife. Saya tetep mau dapet suami yang bisa 'menundukkan' saya yang cukup dominan ini. Saya mau suami yang bisa saya hormati dan saya 'layani' dengan senang hati. Kalau dikerjakan dengan suka rela, jadinya bukan diskriminasi dan opresi kan?

Di pertemuan ketiga kemarin, menyadari bahwa pembicara hari itu adalah Ustadz yang paham benar tentang bahasa Quran, saya melontarkan sebuah pertanyaan. Kasus, lebih tepatnya. Tentang seorang teman saya di kampus yang memiliki gender dysphoria. Saya ceritakan lah bahwa menurut saya itu terjadi karena masalah hormonal, bukan karena pilihan atau gaya hidup, bahwa saya setuju ada kamar mandi yang bebas-gender untuk orang-orang seperti dia (karena sebelumnya beliau mengatakan bahwa munculnya kamar mandi bebas-gender adalah hal yang membahayakan dan sebagainya), dan bahwa kini pikiran saya mengenai LGBT jauh lebih terbuka karena saya mempelajari ilmu psikologi. Saya belajar dari sudut pandang kesehatan mental serta dari kacamata orang yang memiliki gender dysphoria juga. Kalau memang dia dilahirkan dengan hormon yang tidak seimbang (meskipun alat kelamin yang dimiliki hanya satu, alat kelamin laki-laki), bukankah memang wajar kalau dia berperilaku seperti wanita?



Sesuai dugaan saya, ustadz Saiful (serta ibu-ibu yang lain, yang berulang kali beristighfar dengan suara keras dan nada kaget ketika saya bercerita) menganggap bahwa kasus teman saya ini ya sifatnya "kasuistik". Saya bisa aja membantah dan bilang kalau saya tahu banyak orang yang bersifat dan berperilaku menyerupai gender lawannya sejak kecil, tapi saya memilih untuk mendengarkan pendapat sang ustadz. Menurutnya, apapun alasannya, jalan untuk bertaubat terbuka lebar dan memang harus dipilih.

Di luar ekspektasi saya, Ustadz Saiful menambahkan bahwa kalau memang bisa dibuktikan secara medis bahwa ada gangguan hormonal (atau gangguan lain yang menyatakan bahwa ini adalah masalah genetis, bukan pengaruh lingkungan), maka yang bersangkutan boleh melakukan operasi untuk merubah jenis kelamin sesuai dengan pilihan atau kecenderungannya. Dan ketika yang bersangkutan telah merubah identitasnya menjadi wanita, maka gugurlah kewajibannya sebagai pria. Ini adalah pendapat yang menarik karena keluar dari seorang ahli tafsir yang benci dengan interpretasi para liberalis terhadap Quran, jadi saya percaya bahwa apa yang ditafsirkan memiliki landasan yang kuat. Islam itu memudahkan, jadi nggak usah lah dibikin sulit.

Nah, kan, ketemu jalan tengahnya. Saya seneng banget kalau belajar Islam dari ustadz yang pinter dan terbuka, tapi tetap nggak menginterpretasi Quran seenak jidatnya. Bukan dari orang-orang yang cuma paham Islam secuplik, terus mempromosikan diri jadi ustadz. Atau dari orang-orang yang sebenernya pintar, tapi terlalu ngotot kalau pandangannya yang bener, dan orang lain yang nggak sepakat ya berarti berdosa. Atau para tokoh agama yang terlalu egois sampai mengubah aturan-aturan Allah agar sesuai dengan keinginan pribadinya.

Kurang-kurangin lah yuk bersikap terlalu fanatik terhadap sesuatu. Jadi moderat tapi tahu alasannya menurut saya jauh lebih baik. Moderat, tapi tetap taat sesuai syariat. Islam itu adil dan sempurna. Semua pasti ada jalan tengahnya.

No comments:

Post a Comment